Perhatikanpuisi berikut! Karangan Bunga Karya : Taufiq Ismail Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke Salemba Sore itu lni dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami lkut berduka Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi Kukatakan padanya, ”Namaku Malioboro, artinya karangan bunga. Tapi, beberapa sejarawan percaya namaku diadaptasi dari nama seorang kolonialis Inggris, Marlborough, di tahun 1811-1816.””Mana yang harus kukatakan pada calon suamiku?” Bunga yang melihatnya terpaku heran. Apa yang gadis itu lakukan di jam-jam rawan ini dengan berjalan tanpa teman dan berbicara seorang diri. Yogyakarta sedang tidak aman akhir-akhir ini. Banyak begal, pemerkosaan, pembunuhan, perampokan, dan banyak lagi. Slogan yang dulu begitu memikat para pendatang, sekarang berubah menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang hendak mampir ke kota istimewa ini. Masihkah aman? Masihkah nyaman?”Ah, tenang saja, Yogyakarta tidak akan berubah selama masih ada Malioboro di dalamnya.” Seorang pemuda dengan rambut cepak pernah berujar demikian kepada salah satu teman perempuannya yang merengek minta pulang jam satu malam.”Nama tidak begitu penting, Bunga. Kau bisa menemukan lebih banyak referensi di internet tentang asal-usul namaku. Yang penting adalah kau tahu sudah berapa ratus peristiwa yang kualami, kusaksikan, dan kubawa hingga kini.”Bunga berhenti sebentar di salah satu pedagang rokok, membeli tiga batang rokok, dan menyalakan satu sebelum melanjutkan langkah.”Ibu tadi seperti Paini,” ujar Bunga, sembari menghembuskan asap ke pohon-pohon trembesi di sepanjang jalan.”Kangmas-kangmas, bawakan aku bulan. Akan kurebus untuk sarapan adik-adikku,” kubacakan sajak yang ditulis Ahmadun ketika sedang merokok di emperan stasiun Yogyakarta tiga puluh tiga tahun lalu.”Kau kenal Paini, Bunga?””Calon suamiku adalah aktivis sosial, banyak berinteraksi dengan orang-orang miskin, salah satunya orang cacat. Aku kenal Paini darinya, oleh awak media, Paini dipanggil ibu bagi penyandang cacat.””Ah, bukan Paini itu yang kumaksud.”Bunga tertawa kecil. Para pedagang yang bergegas pulang, menatapnya miris. Pikir mereka, Malioboro memang penuh kejutan. Sebentar-sebentar ada yang menangis di pertigaan jalan menuju pasar kembang. Sebentar-sebentar ada yang tertawa bahagia di bawah papan apa menceritakan penggalan kenangan puluhan tahun yang lalu pada para pendatang. Buat apa memutarkan film-film sejarah kepada generasi yang mulai lupa diri. Sajikan saja potret kemarin sore, tentang apa saja, biar mereka yang menulis sejarah mereka sendiri, untuk diri mereka pula esok hari.”Aku lapar, Boro,” ujar Bunga setelah satu batang rokok sudah habis dihisap.”Maju terus, di ujung jalan, dekat rel kereta api ada seninjong.” Bunga menurut.”Kau mau apa saja ada di sana.””Aku tahu satu puisi tentang seninjong.”Kuteruskan kalimatnya. ”Yang rindu sampai mati tak kembali, yang retak di jauh terserak, alangkah daun menemu suara alun, serba lembut salam dan tegur bulan.”Bunga menyalakan satu batang rokok lagi. ”Pernahkah ada pelacur yang lewat sini, Boro?” dia bertanya saat menyeberangi jalan yang menuju pasar tertawa. Dedaunan menari menyambutnya.”Setiap saat, Bunga. Di sini serba rahasia tapi membuka. Sesekali mereka berbaur bersama para pembeli di toko-toko baju. Tertawa seperti muda-mudi yang pacaran di trotoar, lesehan sambil meneguk es teh yang kurang gula. Atau menyewa becak untuk berkeliling, sekadar menghilangkan penat. Kau mungkin pernah bertemu mereka dalam perjalananmu di Malioboro, tapi kau tak sadar kalau mereka pelacur.””Aku adalah pelacur, Boro. Kau pelacur. Semua orang pelacur.”Tawaku kembali pecah. Beberapa daun gugur dari ranting. Sampah-sampah terbang meninggalkan tong. Para pengangguran makin menarik selimut tipis, menutupi tubuh mereka yang kurus kering. Memang benar, walaupun Yogyakarta tak senyaman dulu, selagi masih ada Malioboro, semua akan tenang dan baik-baik saja.”Mereka tak punya pilihan lain, Bunga. Sama sepertiku.”Bunga berhenti, lalu duduk di trotoar dekat palang jalan.”Kenapa begitu, Boro?”Kuceritakan padanya tentang arak-arakan Van Idenburg ketika tiba di Yogyakarta tanggal 28 Mei 1947. Ingin sekali aku bangkit dan memorak-porandakan rombongannya, atau setidaknya melipir agar tidak dilewati musuh keparat itu. Tapi aku tidak bisa apa-apa. Malioboro tetaplah di sana, di dekat gedung kantor Pos dan gedung bank. Aku tidak bisa berpindah sejengkal ketika Sultan Hamengku Buwono IX berangkat ke Jakarta pada tanggal 21 Juni 1947, untuk lama yang tak kuketahui. Ingin aku ikut mengantarnya hingga ke landasan pacu. Mendoakannya bersama para pengawal keraton, lalu kembali ke tempatku semula. Tapi, lagi-lagi aku bisa apa. Yang bisa kulakukan hanya tenang ketika rombongan sultan lewat di atasku. Berusaha menjaga harum bunga di sepanjang jalan agar tidak cepat hilang, bertahan beberapa detik di udara. Sampai Sultan hilang di belokan jalan.”Mereka tidak punya pilihan tapi punya kehendak, bukan?” ujar tertawa pelan. Desir angin membelai rambut seorang pelacur yang baru saja melayani pelanggan kesepuluh. Pelacur itu membeli air mineral dingin, meneguknya di trotoar, sekitar seratus meter dari Bunga. Aku tahu dia sedang menangis, karena air matanya terbawa angin. Orang-orang di sekelilingnya terlalu sibuk menghalau dinginnya malam hingga tak sadar bahwa mereka bisa belajar dari pelacur itu, karena pelacur itu sudah kebal dengan dingin.”Seperti puisi Ari Basuki,” kataku memecah malam. Tukang becak kaget dari tidurnya, celingak-celinguk mencari sumber suara, lalu terlelap kembali. ”Aku ingin meninggalkan lembah ini, setelah peperangan yang meletihkan. Tapi kulihat kau masih suka singgah, begitu asyik bermain-main dengan tubuh berlumur darah. Tidakkah kau jemu, bertualang dari sepi ke sepi, dari ngilu ke ngilu? Bayang-bayang yang kau buru senantiasa luput, dan kau tertipu.””Kau ingin bilang itu pada Sultan, Boro?””Oh, Bunga, aku harap Ari Basuki sudah lahir dan mahir merangkai puisi tujuh puluh satu tahun lalu. Agar bisa kubacakan syairnya kepada Sultan. Ketika Sultan ditipu oleh sahabatnya sendiri, Sultan Hamid II, lalu ketika pergolakan internal yang terjadi di tahun kedua Sultan menjabat menteri pertahanan 1952, bukankah syair Basuki itu sangat pas dengan keadaan Sultan?””Calon suamiku pernah menceritakan peristiwa 1952 itu. Pergolakan antara Sultan dan Nasution dengan Soekarno. Tapi kau tahu, Boro, aku tidak terlalu suka dengan penggalan-penggalan sejarah yang keluar dari mulut yang berbeda.””Mengapa?””Karena sejarah itu selalu subyektif, tergantung pada pihak mana sang pencerita atau penulis menempatkan diri.”Desahanku membuat rambut kuduk para pengangguran berdiri. Tangan mereka mencari-cari selimut tanpa sadar, mengira angin sudah membawanya terbang. ”Bunga, kau harusnya membaca puisi Artha yang berjudul Matahari Tak Lagi.”Bunga bangkit dari duduknya dan berjalan menjauhi rel kereta api, menuju jalan Malioboro. Pelacur yang kebal dingin tak lagi terlihat, orang-orang di sekitar barak sudah mendengkur keras. Aku mengikuti langkah Bunga sambil membacakan puisi.”Kenapa mesti curiga ketika matahari tak tampak di balik cakrawala. Kenapa mesti berdusta ketika burung tak lagi bercericit di dekat jendela. Kau tak perlu mencari tahu kebenaran sejarah, cukup dengarkan saja, terserah mau dari mulut mana. Karena selepas mendengarkan, kau hanya perlu meneruskan ke telinga calon suamimu. Biarkan ia yang menentukan, apakah sejarah yang kau utarakan benar-benar informasi yang ia butuhkan.”Setelah menyalakan batang rokok terakhir, Bunga tertawa. ”Aku sampai lupa tujuanku kemari, Boro. Aku bahkan lupa kalau sebentar lagi aku milik Yogyakarta, bukan hanya milik Ambon.””Aku hanya mencoba menceritakan apa yang pernah terjadi di sepanjang jalan ini lewat puisi-puisi di karangan bunga. Aku tak tahu apakah cerita yang kubagikan memang benar-benar sejarah, atau hanya hiperbola para penyair.”Asap rokok Bunga mengudara lalu hilang pelan-pelan di dekat lampu jalan. Dengkur pengangguran dan tukang becak bersahut-sahutan satu irama. Bunga berjalan pelan, seperti mengeja langkah agar tak salah jalan. Di jalan ini, dua puluh empat tahun silam, seorang penyair meminta pelukis jalanan melukis wajahku seharga lima ribu. Lima menit pun jadi. Aku tatap wajahku agak mirip. Ini Malioboro, Bung. Semua harus bergegas. Melukis harus cepat. Ngamen cukup separuh lagi. Nyemir sepatu pun jadi ragu-ragu. Semua terus berlomba. Dan jika hotel terus menjulang. Supermarket terus bermunculan. Ini tidak salah, Bung. Malioboro butuh berdandan. Bukan tempat tidur gelandangan.”Bunga, sepertinya waktu bergerak lambat,” aku mencoba mengejar jarak di antara menoleh dan menghembuskan asap rokok lagi. “Memang begini seharusnya, Boro. Tidak perlu terburu-buru. Matahari tidak akan merangkak lebih cepat, dan tenggelam lebih awal. Manusia terlalu tergesa-gesa dalam segala hal.””Kalau begitu bilang pada calon suamimu agar tidak perlu buru-buru menikah!””Oh, aku pernah mengatakan itu padanya bertahun-tahun lalu. Kurasa sekarang tak akan mempan lagi.””Coba lagi, Bunga. Jangan putus asa! Jangan menyerah. Siapa tahu kali ini berhasil.”Sungguh aku tidak tahu mengapa aku begitu bersemangat meminta Bunga untuk menunda pernikahannya, yang aku sendiri pun tak tahu kapan akan dilangsungkan. Tapi ketika mengingat permintaan calon suaminya agar mengetahui seluruh cerita tentang Yogyakarta sebelum menikah membuatku pesimis Bunga tidak akan bisa memenuhi keinginan calon suaminya dalam waktu dekat ini, apalagi hanya satu hanya tertawa mendengar perkataanku. ”Aku mencintainya, Boro. Aku mencoba menghormati keputusan suamiku, seandainya dari dulu begitu. Tidak menunda-nunda ajakannya.”Aku berhenti bernapas. Angin hilang dari permukaan jalan. Orang-oang yang tidur tiba-tiba terbangun, megap-megap. Bunga berbalik dan menatapku marah. Aku bernapas lagi, satu hembusan kuat. Desah lega terdengar samar-samar di belakang kami. Kemudian disusul dengkuran dan grasak-grusuk selimut.”Kau hanya sebatas ini, Boro.” Bunga berhenti di depan toko Terang Bulan. ”Kau mau melanjutkan atau berhenti di sini?”Dia benar. Panjangku hanya terbentang dari stasiun tugu ke depan toko ini. Setelah itu bukan Malioboro lagi namanya, tapi Margomulyo hingga ke titik nol. Dari titik nol ke keraton adalah Pangurakan. Aku bisa saja menemani Bunga hingga ia memutuskan untuk meninggalkan.”Melanjutkan, bila kau mau.””Benar yang dikatakan Dhenok Kristianti dalam puisinya yang berjudul Malioboro,” ujar Bunga sambil memelankan langkah, maju menjauhi toko Terang Bulan.”Malioboro simpan derita, perkampungan yang menempel di baliknya. Malioboro simpan rahasia, kata hati yang terucap lewat mata. Apa yang kau sembunyikan, Boro?”Aku berhenti di depan toko Terang Bulan. Bunga terus melangkah, aku memandangi punggungnya yang layu, rambutnya yang lepek, lalu teringat Bawono. Pria yang berulang kali mengajak Bunga menikah. Bawono meninggal ketika sedang mementaskan drama Serangan Oemom 1 Maret empat tahun lalu.”Kenapa berhenti, Boro? Sebentar lagi kita tiba.”Tiba yang dimaksud Bunga adalah tiba di lokasi kematian Bawono. Aku ada di sana, bersama Margomulyo, menyaksikan orang-orang ketar-ketir membopong jasad Bawono ke rumah sakit terdekat. Tapi sepanjang kondisi genting itu, aku tak melihat sosok Bunga. Bahkan hingga tahun-tahun berlalu, kematian Bawono hilang begitu tak sanggup melangkah lagi. Napasku sesak, melihat wajah Bunga aku seperti menatap bola mata Bawono yang hitam pekat, atau setidaknya begitu yang kuingat. Bunga masih terus melangkah. Ke arah Bawono mati terkapar, di depan Benteng aku teringat puisi ”Sajak yang Membiru”. Dengan sisa napas yang ada, kubacakan puisi itu pelan-pelan. Mengiringi langkah Bunga yang tak tahu berhenti.”Aku ingin menikam hatimu dari belakang agar tak kau lihat air matamu, jatuh menggenangi bumiku. Seperti waktu lalu engkau menghabisiku tepat depan rumahmu. Begitulah, segelas impian telah kureguk malam itu. Seraya kuacung-acungkan pisau kata-kataku dengan amarah membiru. Lalu, kuhempaskan namamu di jalanan penuh debu. Sambil berseru Hidup hatiku! Hidup hatiku!””Aku pulang, Boro. Simpan cerita kelam itu di sepanjang tubuhmu. Seperti Bawono, aku sudah ikhlas, dan tenang.”Semakin jauh, kudengar Bunga mulai berteriak lantang membacakan puisi.”Kembali jalanku pada dinding Yogya. Kota penuh kesabaran, kotaku di balik sisi luka, sulit terobati. Kembali malam kembali saban malam. Dicampur otak Nyai Kidul, Otak Gajah, otak Code, dan otaknya sendiri yang penuh luka. Kembali dia tegar hanya karena dia matang dan dewasa. Hanya karena dia sering terluka.”Lambat laun aku ikut mendengkur bersama pengangguran, gelandangan, tukang becak, seninjong, pelacur, dan siapa pun yang berlindung di Malioboro dari ketidakamanan dan ketidaknyaman G Wulandari, lahir di Tidore, 2 Desember 1996, dan tinggal di Yogyakarta. Sedang menempuh pendidikan Ilmu Biologi di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Sebelumnya karangan bunga yang diberikan dengan maksud dan tujuan sama juga sudah beberapa kali terjadi dan sudah saya ulas di artikel-artikel yang telah lalu. Saya pikir, tak akan ada lagi model pemberian karangan bunga karena maksud dan tujuannya juga sudah terbaca oleh masyarakat Indonesia, ada apa di baliknya.

Skip to contentkarangan yang berbentuk sajak syair, pantun, dan lain-lain;berpuisi mengarang puisi, menyatakan sesuatu dalam bentuk puisi;mempuisikan melahirkan menyampaikan, menyatakan sesuatu dalam bentuk puisipelbagai kisah yang dipuisikan itu boleh menghiburkan hati selepas berpenat lelah di sawah ladang; kepuisian berkaitan dengan puisi, yang menunjukkan ciri-ciri dalam puisipembaca tidak dapat memahaminya dan mutu ~nya kurang dapat dirasai oleh pembaca;Post navigation

MenganalisaPuisi "Karangan Bunga" Karangan Bunga -Mengartikan setiap bait bait 1 tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke Salemba Sore itu Artinya : Pada suatu sore datanglah tiga anak kecil ke Salemba dalam langkah malu-malu bait 2 Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang di tembak mati
Artikel kali ini akan membahas tentang sebuah puisi berjudul "Karangan Bunga" karya Taufik Ismail. Puisi Karangan Bunga Taufik ismail merupakan salah satu karya sastra ciptaan Taufik Ismail yang cukup populer. Terlepas dari kepopuleran yang dimiliki Puisi Karangan Bunga, Taufik ismail juga menyisipkan beberapa pesan moral yang bisa dipetik dalam Puisi Karangan Bunga untuk para pendengarnya. Isi bahasan artikel diarahkan untuk membahas tentang Makna Puisi Karangan Bunga Taufik Ismail. Analisis makna puisi karangan bunga bertujuan untuk mengetahui apa Maksud Puisi Karangan Bunga Taufik Ismail. Maksud puisi karangan bunga karya taufik ismail dapat kita identifikasi melalui bentuk Tipografi Penulisan Puisi Karangan Bunga, Latar Belakang Puisi Karangan Bunga, serta melalui Makna Simbolik Pita Hitam Dalam Karangan Bunga. 1. Puisi Karangan Bunga Karya Taufik Ismail Karangan Bunga Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke salemba Sore itu. “Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati Siang tadi.” 2. Maksud Puisi Karangan Bunga Secara singkat, maksud puisi karangan bunga adalah untuk mengigatkan kepada kita semua untuk menghormati serta mengenang perjuangan dan jasa para pahlawan yang telah berkorban demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Makna puisi karangan bunga tersbut dapat diketahui setalah mengidentifikasi puisi karangan bunga secara mendalam. Maksud puisi karangan bunga dapat diidentifikasi setelah membedah tipografi, latar belakang, dan makna simboliknya. berikut uraian makna puisi Karangan Bunga karya Taufik Ismail. Tipografi Penulisan Puisi Karangan Bunga Dari tipografi puisi karangan bunga, nampak jelas bahwa bentuk karangan di atas adalah puisi. Tema yang diungkapkan juga menunjukan struktur tematik puisi, karena tulisan di atas tidak menunjukan uraian yang berkesenimbungan seperti di dalam prosa. Baris-baris yang diciptakan bukan kesatuan sintaktik, namun baris-baris yang intens terkonsetrasikan. Setelah membaca puisi tersebut, akan timbul pertanyaan dalam hati kita, yakni mengapa bunga, ini arti harfiah ataukah arti lambang? Kata-kata anak kecil, malu-malu, salemba, sore, ditembak mati, siang tadi, dan sebagainya, apakah menunjukan makna lugas ataukah makna kias? Secara keseluruhan struktur tematik sebuah puisi Nampak dalam karya atas. Ciri-ciri khas puisi dalam struktur tematiknya kita dapati dalam penempatan makna kata-katanya yang disamping menampilkan makna lugas dapat diurut makna kias atau makna lambangnya. Latar Belakang Puisi Karangan Bunga Puisi di atas membicarakan peristiwa demontrasi mahasiswa pada tahun 1966 menentang Orde Lama. Tiga anak kecil memawakili golongan manusia lemah yang masih suci dan murni hatinya, yang sebenarnya belum tahu apa-apa tentang peristiwa demonstrasi itu. Walau hanya menyebutkan anak kecil yang belum tahu apa-apa dan hanya berjumlah tiga orang. Namun, mereka bertiga sudah mampu nyatakan duka cita terhadap gugurnya mahasiswa yang ditembak mati oleh penguasa pada waktu itu. Karenanya ketiga anak kecil itu membawa karangan bunga dengan langkah malu-malu. a. Latar tempat Puisi ini mengambil lokasi di Kampus UI Salemba, yang merupakan basis mahasiswa dalam mencanangkan aksi demonstrasinya menuntut Presiden Soekarno b. Latar waktu Ada dua latar waktu yang tersurat dalam puisi ini. Yang pertama adalah waktu sore hari dimana semua orang telah berkumpul di Salemba untuk berkabung, berduka atas meninggalnya Alm. Arief Rahman Hakim. Yang kedua adalah latar waktu di siang hari saat terjadi penembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. c. Latar suasana Jelas tergambar suasana sedih dan berkabung dalam puisi ini. Suasana ini semakin jelas saat tiga anak kecil ini memberikan karangan bunga yang berpita hitam dan saat disebutkan bahwa kakak’ tersebut mati ditembak Makna Simbolik Puisi Karangan Bunga Cukup banyak simbolisme yang digunakan di dalam puisi ini meskipun puisi ini tidak terlalu panjang. Dari judul saja Karangan Bunga’ sudah menggambarkan duka yang terjadi dibalik penulisan puisi ini. Beberpa makna simbolik lainnya yang digunakan Taufik ismali dalam puisi karangan bunga yaitu simbol Pita Hitam dalam Karangan Bunga dan simbol tiga anak kecil membawa karangan bunga ke Salemba. a. Pita Hitam dalam Karangan Bunga Tanda kedukaan dilambangkan dengan “pita hitam pada karangan bunga”. Penggambaran suasana kedukaan melalui tiga anak kecil lebih menyentuh hati pembaca puisi karangan bunga. Pita hitam pada karangan bunga’ mewakili suasana duka yang ada. Seperti yang kita telah ketahui, saat seseorang meninggal pasti akan banyak karangan bunga duka cita yang diantar ke kediaman orang yang meninggal tersebut. Warna hitam’ disini sengaja dipilih untuk mewakili kesedihan yang ada, sebab warna hitam merupakan simbol warna universal yang mewakili kesedihan, kehilangan, dan kepedihan. b. Tiga Anak Kecil Berikutnya adalah penggunaan subyek Tiga anak kecil’ yang digunakan untuk mewakili pihak-pihak tak bersalah dan tak tahu-menahu akan apa yang diketahui oleh mahasiswa-mahasiswa pendemo ini. Akan tetapi tiga anak kecil’ ini mengerti tragedi apa yang sedang terjadi, yaitu penembakan. Kata malu-malu’ yang digunakan pun semakin menegaskan kenaifan dan kepolosan anak-anak tersebut. Di sisi lain, pembaca tentu tidak akan percaya bahwa suasana yang dilukiskan dalam puisi karangan bunga itu menggambarkan kenyataan. Sebab di tengah-tengah demonstrasi mahasiswa saat itu tidak mungkin ada “tiga anak kecil membawa karangan bunga ke Salemba”. Jadi semua pernyataan ini bermakna kias dan melambangkan sesuatu maksud yang hendak dikemukakan oleh penyair. c. Kakak Alm. Arief Rahman Hakim disebut sebagai Kakak’ di dalam puisi ini seakan-akan Arief adalah kakak kandung mereka sendiri. Hal ini menggambarkan kedekatan emosional anak-anak tersebut dengan Arief, bahwa apa yang dilakukan Arief adalah tindakan yang lumrah dilakukan seorang kakak untuk melindungi adik-adiknya dari kesengsaraan yang mereka alami. d. Siang Tadi Terakhir adalah simbol siang tadi’ yang mewakili kejadian yang terjadi di siang hari sebelumnya, yaitu insiden penembakan mahasiswa oleh pasukan Tjakrabirawa di Istana Presiden. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peristiwa ini terjadi karena adanya demonstrasi mahasiswa yang menuntut Tritura.
PengertianPuisi Puisi adalah bentuk karya sastra yang terikat oleh irama, rima dan penyusun bait dan baris yang bahasanya terlihat indah dan penuh makna. Karangan bunga tiga anak kecil dalam langkah malu-malu datang ke salemba sore ituini dari kami bertiga pita hitam pada karangan bunga sebab kami ikut berduka bagi kakak ditembak mati
Reading poetry is one of the language skills, the skills are reading poetry in public with correct pronunciation, beautiful intonation, and correct expression. However, especially students at MI Nurul Huda Sungai Binjai, Keritang District did not read poetry by applying the conditions or rules for reading poetry. For instance not reading poetry with the correct pronunciation, not using beautiful intonation, also not expressing the poetry properly. Thus, the training was given to students to read poetry properly. The method used in this service is the training method. The result of this training indicated that students able to read poetry with correct pronunciation, beautiful intonation, and they can read poetry with correct expressions.
Karanganbunga maksud puisi tersebut adalah. SuaraJakartaid - Mischa Hasnaeni Moein atau yang dikenal dengan julukan Wanita Emas mendatangi kantor Balai Kota DKI Jakarta Minggu 2122021. Pengertian Puisi Menurut Para Ahli. Bacalah kutipan puisi dengan seksama.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Sebelum saya memaparkan parafrasa dari puisi karya WS Rendra, kita perlu tahu apa itu parafrasa. Menurut KBBI, parafrasa merupakan penguraian kembali suatu teks karangan dalam bentuk susunan kata-kata yang lain, dengan maksud untuk dapat menjelaskan makna yang mengetahui apa itu parafrasa, sekarang saya akan memaparkan puisi "Bunga Gugur" karya WS Puisi "Bunga Gugur" Karya WS Rendra Pada bait pertama, sang penulis puisi mengungkapkan perasaannya ketika kekasihnya telah meninggal. Ia mengungkapkan bahwa dirinya merasa berbagai pengalaman dan kenangan yang dilalui bersama kekasihnya itu seperti ikut menghilang seturut kematian kekasihnya. Sang penulis melambangkan berbagai pengalaman dan kenangan yang dilalui bersama kekasihnya itu sebagai bunga dan hilangnya dengan bergugurnya bunga itu. Jatuhnya bunga di atas nyawa mungkin menggambarkan bunga yang bertaburan pemakanman kekasihnya yang membuatnya merasa sangat kehilangan. Pada bait kedua, sang penulis menegaskan kembali penggambaran pada bait pertama. Bertaburnya bunga di atas makam kekasihnya menandakan akhir dari hubungan atau kisah cinta mereka berdua. Sang penulis berusaha untuk mengikhlaskan kepergian kekasihnya dan mencoba untuk bisa terlepas dari belenggu kesedihan yang ia alami. Ia menyadari bahwa semua orang yang meninggal akan pergi ke surga, namun ia juga mengetahui dan memahami bahwa di surga segala kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan duniawi sudah dihapus dari jiwa orang yang meninggal itu sehingga di surga tidak ada lagi hubungan-hubungan yang terjadi di bumi. Kelekatan dunia tidak lagi terikat pada jiwa yang sudah bait ketiga, sang penulis menegaskan kembali mengenai pernyataannya pada bait sebelumnya bahwa asmara atau hubungan cinta antara dua orang itu hanya terjadi dalam kehidupan di dunia bukan di surga. Ia menyatakan bahwa asmara itu lahir di dunia dan akan terus bersama dengan orang yang memiliki asmara itu ke mana pun orang itu pergi dan asmara itu akan hilang dan benar-benar hilang ketika orang yang memiliki asmara itu bait keempat, sang penulis menggambarkan bagaimana perasaannya itu setelah meninggalnya kekasihnya, ia begitu kehilangan bahkan ia menggambarkan rasa kehilangannya itu seperti ingin bunuh diri. Dan sang penulis menyatakan bahwa kenangan-kenangan yang muncul itu hanyalah penghibur sementara yang membuatnya sulit untuk mau berjalan terus dalam hidup ini sehingga sang penulis mengatakan bahwa kenangan yang muncul itu adalah bait kelima, sang penulis juga mengungkapkan rasa bingungnya itu. Ia bingung apakah dengan menangis itu ia menghormati dan melepas kepergian kekasihnya itu. Namun, ia juga merasa setelah tangisannya yang singkat itu, apakah yang akan terjadi selanjutnya akan lancar atau tidak. Mungkin dirinya akan sulit untuk melepas kepergian kekasihnya itu dan akan menganggap dengan sulitnya dirinya melepas kepergian kekasihnya itu maka ia tidak menghormati kepergian kekasihnya. Pada bait terakhir, sang penulis mengungkapkan kesadarannya dan kepasrahannya akan apa yang telah terjadi, yaitu perginya kekasihnya untuk selama-lamanya. Ia sadar bila ia terus bersedih tidak akan mengubah apapun dan hanya akan mengekangnya. Ia belajar untuk merelakannya dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk bisa terus berjalan dan menghormati kekasihnya adalah dengan mengambil pelajaran-pelajaran hidup yang ia dapat dari pengalaman-pengalaman dan kenangan-kenangan bersama kekasihnya seperti embun yang ada di bunga, embun itu akan terus menjalani siklusnya dan menjadi bermanfaat bagi kehidupan banyak makhluk ini merupakan puisi roman. Inti dari puisi ini adalah sang penulis mengungkapkan bagaimana perasaannya ketika kehilangan orang yang dia kasihi dan bagaimana dia akhirnya merefleksikannya. Lihat Puisi Selengkapnya
Berikutadalah makna dari puisi Karangan Bunga karya Taufik Ismail: Kita sebagai orang yang sudah hidup di zaman kemerdekaan harus selalu menghormati dan mengenang jasa para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga hingga nyawanya demi memperoleh kemerdekaan dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Pembahasan . 189 344 167 93 224 153 353 368

maksud puisi karangan bunga